PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berfilsafat adalah bagian dari peradaban
manusia. Semua peradaban yang pernah timbul di dunia pasti memiliki filsafat
masing-masing. Kenyataan ini juga sekaligus membantah pandangan bahwa yang
berfilsafat hanya orang barat saja, khususnya orang Yunani. Diantara filsafat
yang pernah berkembang, selain filsafat Yunani adalah filsafat Persia, Cina,
India, dan tentu saja filsafat Islam.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
pemikiran filsafat Islam Ibnu Rusyd. Sebagai
seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah
dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari
filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat
mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau
komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator
Aristoteles.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Ibnu Rusyd?
2.
Apa saja karya-karya Ibnu Rusyd?
3.
Apa saja pemikiran Ibnu Rusyd?
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Rusyd
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd
dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126 M, sekitar 5 tahun
wafatnya Al-Ghazali. Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat
menyebutnya dengan nama Averrois. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalusia
dan ia sendiri pada tahun 565 H/ 1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville
dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun
1173 ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di
Cordova.[1]
Ibnu Rusyd terkenal sebagai pengulas karya-karya Aristoteles (Comentator),
sebuah gelar yang diberikan Dante (1265-1321 M) dalam bukunya Devine
Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya, karena
pikiran-pikirannya mencerminkan usahanya yang keras untuk mengembalikan
pikiran-pikiran Aristoteles kepada kemurniannya, setelah bercampur dengan
unsur-unsur Platonik yang cukup memperburuk orisinalitas pemikirannya dan yang
dimasukkan para filsuf Iskandariah.[2]
Dengan realitas yang dialami sebagai qadhi, dokter, dan didukung
oleh berbagai penguasaan ilmu, seperti matematika, fisika, astronomi,
kedokteran, logika, dan filsafat, Ibnu Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang
sulit ditandingi. Kehebatannya dapat dilihat dari berbagai karya yang telah
ditulis, meskipun di akhir hidupnya, Rusyd mendapat tuduhan besar sehingga ia dibuang
dari tanah kelahirannya.[3]
Ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat
Cordova dan dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya
dibakar, kecuali yang bersifat ilmu
pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, matematika,dan astronomi.
Suasana yang mencekam ini dimanfaatkan oleh ulama-ulama konservatif dengan
kebencian dan kecemburuan yang terpendam selama ini terhadap kedudukan Ibnu
Rusyd yang tinggi.
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rusyd ini tidak berlangsung
lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan
posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati
keadaan tersebut dan ia meninggal pada 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di
Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut
perhitungan tahun Hijrah.[4]
B.
Karya-karya Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd terkenal sebagai seorang filosuf yang menentang Al
Ghazali. Bukunya yang khusus menentang filsafat Al Ghazali, Tahafutut-tahafut,
adalah reaksi dari buku Al Ghazali, Tahafutu falasifah. Ibnu Rusyd
banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab sampai ke tangan kita
sekarang hanya sedikit. Di antara karangan-karangannya yang masih dapat kita
temukan adalah sebagai berikut:
1.
Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2.
Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Milat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
C.
Pemikiran Ibnu Rusyd
1.
Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan falsafat tidak
ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari berfikir tentang wujud untuk mengetahui
pencipta segala yang ada ini. Ibnu Rusyd mendasarkan argumennya dengan dalil Al-Qur’an
(al-Hasyr: 2 dan al-Isra’: 84), menyuruh manusia berfikir tentang wujud atau
alam yang tampak ini dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya
Al-Qur’an menyuruh umat manusia berfilsafat, atau mempelajari filsafat Yunani,
bukan dilarang atau diharamkan.[6]
2.
Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Bahkan sebaliknya, menurut para teolog
yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada justru tidak mempunyai
dasar dalam Al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Al-Qur’an (Q.S. Hud:
7, Al-Fushshilat: 11, Al-Anbyaa’: 30) dapat diambil kesimpulan bahwa alam
diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus
membawa pada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak
dijadikan oleh Tuhan. Bagi para filsuf muslim, alam itu dikatakan qadim,
justru karena alam itu diciptakan Tuhan, yakni diciptakan sejak qidam/azali.
Karena diciptakan-Nya sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula.
Bagaimanapun, Tuhan dan alam tidak sama karena Tuhan adalah qadim yang
mencipta, sedangkan alam adalah qadim yang dicipta.[7]
3.
Kebangkitan Jasmani
Menurut Al-Ghazali, salah satu unsur yang menyebabkan orang menjadi kafir adalah karena mengingkari
adanya kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Dia
mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan)
karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Ibnu Rusyd menyangkal pendapat Al-Ghazali itu, karena menurut
Ibnu Rusyd, keimanan terhadap kebangkitan jasmani adalah suatu keharusan bagi
terwujudnya keutamaan akhlak, keutamaan teori dan amalan lahir, karena seorang
tidak akan memperoleh kehidupan yang sebenarnya dalam dunia ini kecuali dengan
amalan-amalan lahir, dan untuk kehidupan di dunia dan di akhirat, tidak bisa
tercapai kecuali dengan keutamaan-keutamaan teori. Dengan demikian pengkafiran
dalam masalah kebangkitan jasmani tidak beralasan, karena masalah ini bagi para
filosuf adalah persoalan teori.[8]
Ibnu Rusyd menggambarkan kebangkitan rohani dengan analogi tidur.
Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan
hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan.[9]
4.
Kerasulan Nabi
Banyak filosuf dan para
ulama kalam yang membicarakan masalah kenabian. Pembuktian kerasulan para ulama
kalam menyatakan apabila orang berbicara dan berkehendak dapat mengutus
hamba-hambanya, maka bagi Tuhan juga apabila berbicara dan beriradah dapat
mengutus rasul-Nya. Pembuktian ini adalah melalui jalan qiyas, namun
jalan tersebut hanya bisa membawa kesimpulan yang mungkin saja. Bagi golongan
Asy’ariyah dalam memperkuat qiyas itu adalah bahwa orang yang mengaku menjadi
utusan Tuhan, maka harus menunjukkan benar-benar bahwa ia diutus Tuhan untuk
hamba-hamba-Nya, dan tanda ini dinamakan mu’jizat.
Pembuktian yang seperti itu menurut Ibnu Rusyd hanya bersifat
memuaskan hati, tetapi tidak meyakinkan, namun ia menyadari bahwa pembuktian
itu sesuai dengan kebanyakan orang. Apabila diteliti dengan seksama pembuktian
mengandung berbagai kelemahan. Diantaranya yaitu darimana kita mengetahui bahwa
mu’jizat yang Nampak pada seseorang yang mengaku nabi itu adalah tanda dari
Tuhan yang menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya.
Mu’jizat menurut Ibnu Rusyd ada dua macam, yaitu:
a.
Mu’jizat luaran (al karrami) yakni mu’jizat yang sesuai
dengan sifat yang karena seorang nabi disebut nabi, seperti menyembuhkan
penyakit, membelah lautan dan sebagainya.
b.
Mu’jizat yang sesuai (al immasib) dengan sifat kenabian
tersebut, yaitu syariat (peraturan) yang dibawanya untuk kebahagiaan manusia.[10]
5.
Pengetahuan Tuhan
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa para filsuf Muslim tidaklah
mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i (perincian yang
terjadi) pada alam sementara ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya
setiap ulama islam, para filsuf Muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui
hal-hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan adalah
bagaimana cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu. Menurut
Ibnu Rusyd, para filsuf Muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang
hal-hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek (akibat dari
memperhatikan hal-hal juz’i itu), sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan
sebab, yakni sebab bagi munculnya hal-hal yang bersifat juz’i itu.
Selain itu, ketidaksamaan tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu
bersifat qadim, yakni semenjak azali Tuhan mengetahui hal-hal bersifat juz’i
di alam semesta ini, betapa pun kecilnya hal tersebut. Manusia tidak memiliki
pengetahuan sama sekali, tetapi kemudian secara berangsur-angsur, memperoleh
pengetahuan setelah memperhatikan bagian demi bagian alam secara saksama.
Kritik Al-Ghazali tentang apakah Tuhan tahu terhadap hal-hal kecil
atau tidak. Ia memandang bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, baik besar ataupun
kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal bukan perkara
yang kecil. Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang
kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah
pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam
hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal
kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap
oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab
para filsuf tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka
bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan
pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan
antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan
dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh
melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia
tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang
dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan
sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah)
yang materi itu.[11]
KESIMPULAN
1.
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd
dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/1126 M, sekitar 5 tahun
wafatnya Al-Ghazali. Ibnu Rusyd terkenal sebagai pengulas karya-karya
Aristoteles (Comentator), karena pikiran-pikirannya mencerminkan
usahanya yang keras untuk mengembalikan pikiran-pikiran Aristoteles kepada
kemurniannya. Beliau meninggal pada 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di
Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut
perhitungan tahun Hijrah.
2.
Karya-karya Ibnu Rusyd:
a. Fashl al-Maqal
fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
b. Al-Kasyf ‘an
Manahij al-Adillat fi ‘Aqa’id al-Milat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
c. Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid,
berisikan uraian-uraian di bidang fiqih.
3.
Pemikiran Ibnu Rusyd:
·
Agama dan filsafat
·
Qadimnya alam
·
Kebangkitan jasmani
·
Kerasulan Nabi
·
Pengetahuan Tuhan
DAFTAR
PUSTAKA
Mustofa. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar
Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Syukur, Suparman. 2007. Epistemologi Islam Skolastik,. Semarang:
Pustaka Pelajar
No comments:
Post a Comment